Perlawanan dari dalam diri manusia sendiri dalam melaksanakan
hukum Tuhan dilunakkan bila diterima dengan rela sebagai persembahan (Bacaan pertama, Kel 20:1-3.7-8.12-17). Sebab hidup abadi bagi manusia justru lahir dari kematian Kristus di salib (Bacaan kedua, 1Kor 1:22-25). Sebagaimana
dinubuatkan oleh Kristus sendiri bahwa kebangkitan-Nya sebagai manusia
baru, yang abadi kemuliaannya, karena Ia dibunuh di kayu salib (Bacaan Injil, Yoh 4:5-42).
Dalam Kitab kejadian, sesudah manusia jatuh ke dalam dosa, Allah berfirman kepada Hawa (perempuan itu): “Susah
payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan susah payah
engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu
dan ia akan berkuasa atasmu”. (Kej. 3:16). Dan kepada Adam (manusia itu) Allah berfirman: “…..maka terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu”
(Kej.3:17b). Karena dosalah untuk mempertahankan dan meneruskan hidup,
manusia harus berjuang, bekerja keras dan menghadapi banyak kesulitan,
bahkan penderitaan.
Pesan perayaan Ekaristi Minggu ini mengingatkan kita, kalau untuk
hidup di dunia ini saja manusia harus bekerja dan berjuang menghadapi
banyak kesulitan, terlebih lagi untuk mencapai hidup abadi. Memang
Allah telah menebus manusia dan pertolongan Allah itu semata-mata
karena belas kasih dan cinta Allah kepada manusia. Akan tetapi karena
Allah memperlakukan manusia sebagai pribadi, cara Allah menebus manusia
dengan bekerjasama agar manusia tahu tanggung-jawabnya. Cara ini bukan
tuntutan melainkan suatu penghargaan dan tanda cinta. “Sebab Aku,
Tuhan, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan
bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan ketiga dan keempat dari
orang-orang yang membenci Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia
kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan berpegang
pada perintah-perintah-Ku”.
Salah satu akibat dosa yang hakiki – yang dipandang manusia sebagai
hukuman dari Allah – yaitu hilangnya hubungan persahabatan (sehidup)
antara manusia dan Allah (yang digambarkan dengan Taman Firdaus).
Hidup manusia bersumber pada Allah. Hilangnya hubungan persahabatan manusia dengan Allah berarti hilangnya benih sumber hidup abadi, sebab hidup manusia dalam suatu proses (jasmani yang merohani), karena itu ujung proses hidup insani manusia menjadi kematian. Manusia tidak memiliki lagi benih hidup abadi itu. Manusia tidak dapat lagi mewariskan apa yang tidak ia miliki, yaitu benih hidup abadi. Kita diperanakan tanpa mewariskan apa yang tidak ia miliki, yaitu benih hidup abadi. Kita diperanakan tanpa benih hidup abadi. Inilah yang disebut dosa asal itu. Kita dikandung dalam dosa, yaitu tanpa benih hidup abadi.
Hidup manusia bersumber pada Allah. Hilangnya hubungan persahabatan manusia dengan Allah berarti hilangnya benih sumber hidup abadi, sebab hidup manusia dalam suatu proses (jasmani yang merohani), karena itu ujung proses hidup insani manusia menjadi kematian. Manusia tidak memiliki lagi benih hidup abadi itu. Manusia tidak dapat lagi mewariskan apa yang tidak ia miliki, yaitu benih hidup abadi. Kita diperanakan tanpa mewariskan apa yang tidak ia miliki, yaitu benih hidup abadi. Kita diperanakan tanpa benih hidup abadi. Inilah yang disebut dosa asal itu. Kita dikandung dalam dosa, yaitu tanpa benih hidup abadi.
Oleh karena itu yang dapat memberikan kembali benih hidup abadi itu
hanya Tuhan sendiri. Bagi manusia untuk dapat memperoleh benih hidup
abadi itu, meskipun Allah sendiri yang memberikan dengan cuma-cuma,
tetapi pemberian itu sekaligus merupakan pengampunan, merupakan
perdamaian antara Allah dan manusia, dan ini berarti Allah menyatukan
diri kembali dengan manusia, Immanuel, Kristus.
Sisi lain dari pengampunan dosa itu ialah penebusan. Kristus yang
menebus hilangnya benih hidup abadi itu dengan darah-Nya (hidup-Nya)
sebagai Manusia-Allah, yang terlaksana pada kematian-Nya di salib. DAri
kematian Kristus di salib itu lahir benih hidup abadi pada manusia.
“Rombak bait Allah ini dan dalam tiga hari Aku akan mendirikan kembali”.
Para rasul menyadari makna kata-kata Kristus itu baru setelah
Kristus bangkit dari antara orang mati. Yang dimaksud dengan ‘bait
Allah’ ialah tubuh insani-Nya sendiri tempat Allah Putera menyatukan
diri dengan kemanusiaan-Nya. Karya penebusan seperti itulah yang
diwartakan rasul Paulus. “Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan
orang-orang Yahudi mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus
yang disalibkan untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk
orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan”.
Namun bagi orang yang percaya kepada Kristus yang tersalib, Kristus
adalah sumber hidup, kekuatan dan hikmat Allah, yang dibutuhkan manusia
untuk mencapai kemuliaan hidup abadi kembali. Memang manusia selalu mau
yang enak dan menyenangkan. Akan tetapi sebagai seorang pribadi manusia
diikut sertakan dalam mencapainya, yaitu bersama Allah mencapai
kemuliaan abadi. Dalam budaya Jawapun dikenal prinsip hidup yang mirip
dengan prinsip salib Kristus: “Jer basuki mowo beyo”.
Untuk mencapai hidup yang mulia orang harus berani berkorban,
bekerja keras membanting tulang, berjuang, mengeluarkan biaya. Kita
juga mengenal pepatah ‘Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke
tepian’, yaitu bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Kita
harus mencapai kemuliaan sebagai manusia yang berkepribadian, yaitu
tahu diri dan tahu bertanggung-jawab, tetapi juga sadar sebagai ciptaan
yang sosial.
Dewasa ini prinsip hidup itu sudah sekarat, karena dilanda kemajuan zaman (iptek) dan terutama mentalitas korup. Tetapi manusia tetap manusia, tidak menjadi mesin dan tidak menjadi hewan, yang tidak mengenal moral.
Dewasa ini prinsip hidup itu sudah sekarat, karena dilanda kemajuan zaman (iptek) dan terutama mentalitas korup. Tetapi manusia tetap manusia, tidak menjadi mesin dan tidak menjadi hewan, yang tidak mengenal moral.
Apakah iman kita akan ikut ’sekarat’ ? Masihkan kita berperan kita perpegang pada sabda Kristus: Kalau kamu mau menjadi murid-Ku, sangkal dirimu dan panggul salibmu sehari-hari, serta ikiutilah Aku! ????